Senin, 16 September 2013

Mahabatullah


Tasawuf

 


 Cara Menggapai Cinta Allah

 Menjemput CInta Allah Memperoleh cinta Allah (mahabbatullah) adalah sebuah keharusan bagi setiap hamba beriman. Yang pertama karena cinta kepada Allah dan kepada yang lain -apapun nama dan bentuknya- sesungguhnya tidak akan pernah bisa bertemu, karena sifat keduanya yang bertolak belakang. Sedang yang kedua, cinta kepada selain Allah hakikatnya adalah palsu, sumber penderitaan dan awal kehinaan manusia. Sebab, prinsip dasar dalam agama Islam adalah cinta kepada Allah itu sendiri. Tapi, bagaimana cara menggapai cinta Allah itu? Imam Ibnul Qayyim dalam ‘Madarij’nya menyebutkan ada 10 cara mendapatkan cinta Allah. Sebuah informasi yang sangat mahal dan penuh manfaat bagi mereka yang mendambakan cinta ini. Mari kita jalani petuah berharga dari pakar hati ini, agar bisa menjemput cinta Ilahi. 1. Membaca (qiraah) al-Qur’an. Bukan sekedar membaca dan melafazhkan huruf demi huruf tentunya. Tetapi membaca dengan merenungi (tadabbur) dan memahami (tafahhum) kandungan makna-makna dan apa yang dikehendakinya. Agar lafazh-lafazh yang keluar dari mulut kita, adalah lafazh-lafazh yang terfahami. Menjadi suluh dalam kegelapan, dan menjadi pembebas dari kebodohan. 2. Mendekat (taqarrub) kepada Allah. Caranya dengan melaksanakan hal-hal yang sunnah (an-nawaafil) setelah mengerjakan hal-hal yang wajib (fardhu). Ditunaikannya hal-hal yang sunnah akan mengantarkan hamba ke derajat dicintai. Kebersamaannya dengan Allah membuahkan ketengan dan kebahagiaan. Seluruh keinginan, hasrat, kehendak dan lintasan hatinya adalah karena Allah. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku yang semisal (nilainya) dengan menjalankan hal-hal yang Aku fardhukan baginya. Dan hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan (mengerjakan) an nawaafil hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar. Menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat. Menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang. Dan menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia memohon kepada-Ku, Aku pasti akan memberinya. Dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku pasti akan melindunginya. Dan tidaklah Aku ragu terhadap sesuatu yang Aku menjadi pelakunya, seperti keraguan-Ku saat mencabut nyawa seorang mukmin yang tidak menyukai kematian, sedang Aku tidak ingin berbuat buruk kepadanya, namun tetapi harus Aku lakukan.†3. Senantiasa mengingat (dzikir) Allah. Hal ini harus kita lakukan di setiap kesempatan, baik dengan lisan, hati, amal perbuatan maupun keadaan diri. Bisa dikatakan di sini, bahwa bagian hamba dari cinta Allah, sesuai dengan kadar dzikirnya kepada-Nya. Berdzikir yang terus menerus akan membuat kita terjaga dan sadar akan setiap tindakan yang kita ambil. Membantu fikiran kita untuk fokus dan tidak bercabang-cabang. Adakah yang lebih baik keadaannya dari hamba yang seluruh kesadarannya membimbingnya menuju keridhaan dan cinta Allah? 4. Mendahulukan (itsar) hal-hal yang dicintai Allah. Di atas apapun, hal-hal yang dicintai Allah harus kita dahulukan daripada hal-hal yang kita cintai meski sulit dan berat. Utamanya saat kita dikuasai hawa nafsu. Karena kecintaan yang bersih kepada Allah, akan membuahkan kecintaan kepada hal-hal yang dicintai-Nya. Dalam salah satu doanya, Rasulullah memohon cinta Allah dan cinta kepada hal-hal yang bisa mengantarkan beliau kepada cinta Allah itu. Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dhaif dari Abu Darda’, bahwa Rasulullah bersabda, “ Termasuk doanya nabi Dawud adalah; Allahumma, sesungguhnya hamba memohon cinta-Mu, cinta siapapun yang mencintai-Mu, dan (cinta) kepada amal yang menyampaikan hamba kepada cinta-Mu. Allahumma, jadikanlah cinta-Mu lebih hamba cintai daripada (cinta) kepada diri sendiri, keluarga dan air yang dingin.†5. Hati menelaah asma’ dan shifat Allah. Kemudian mempersaksikan dan mengenal-Nya. Ibnul Qayyim menambahkan, “Barangsiapa mengetahui asma’, shifat dan af’al Allah, niscaya mencintai Allah adalah sebuah keniscayaan baginya.†Bukankah tidak kenal, tidak akan saying? Maka jika hamba betul-betul mengenal Allah, pastilah dia akan mencintai-Nya. 6. Mempersaksikan kebaikan dan nikmat Allah. Sesungguhnya jika kita menghitung, akan kita temukan bahwa nikmat dan karunia Allah, baik yang lahir maupun yang batin, tidak terbatas. Dan jika menghitungnya, tentulah kita tidak akan mampu melakukannya. Sedang memperhatikan nikmat-nikmat Allah, akan membimbing hamba mencintai-Nya. 7. Kepasrahan hati secara total di hadapan Allah. Ini adalah hal paling menakjubkan dari cara-cara meraih cinta Allah. Bahkan menurut beliau, tidak ada ungkapan yang bisa mewakilinya. Tidak kata-kata, tidak juga berbagai ibarat. Sebab, cinta yang benar akan mengantarkan pecintanya kepada tauhid, peng-esaan kekasih, untuk kemudian memberikan hartanya yang paling bernilai, yaitu hati! 8. Menyendiri (khalwat) dengan Allah. Ini kita lakukan saat Dia turun ke langit dunia untuk bermunajat kepada-Nya, tilawah al-Qur’an yang merupakan kalam-Nya, menghadap kepada-Nya dengan segenap hati, memperhatikan adab-adab beribadah di hadapan-Nya, kepada menutupnya dengan istighfar dan taubat. 9. Bermajelis bersama hamba-hamba Allah yang mencintai-Nya dengan tulus. Bersama mereka, kita akan memetik sebaik-baik buah pembicaraan, sebab mereka tidak akan berbicara kecuali hal-hal yang memberi maslahat dunia akhirat. Dari sana, kita akan mengetahui bahwa di dalam majelis bersama mereka, ada tambahan berharga untuk diri kita, serta manfaat untuk manusia yang lain. 10.Menjauhi semua hal yang menghalangi hati dari Allah. Hal-hal itu bisa berupa kesyirikan yang menghalangi tauhid, berbagai bid’ah yang bertentangan dengan sunnah, aneka syahwat yang menolak perintah Allah, ghaflah yang melalaikan dzikir kepada-Nya, serta riya’ yang mengotori keikhlasan. Kita harus menyelamatkan hati dari semua penghalang ini, agar mendapatkan hati yang bersih (qalbun salim). Merawat Cinta Jika pohon cinta telah tertanam di dalam hati, berurat berakar, maka kita harus selalu menyiraminya dengan air keikhlasan dalam beribadah dan ittiba’ kepada Rasulullah. Allah berfirman di dalam Ali Imran ayat 31, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.†Satu hal yang harus kita ketahui, bahwa cinta adalah amalan hati. Sesuai dengan karakternya yang mudah berubah dan rapuh, sangat mungkin cinta kepada Allah juga mengalami naik turun (fluktuasi). Penjagaannya adalah dengan menguatkan pemahaman (quwwatul idraak) dengan tidak pernah berhenti mempertajam akal dengan ilmu yang benar dan bermanfaat. Sebab ilmu akan membimbing akal melakukan fungsinya dengan benar. Utamanya fungsi klasifikasi masalah. Selain itu, kita juga harus selalu menajamkan keberanian hati (syaja’atul qalbi). Di samping berguna untuk menolak godaan nafsu yang memang dahsyat, hal ini juga akan membimbing hati kita melakukan fungsi itsar. Yaitu keberanian mendahulukan kecintaan kepada Allah di atas yang lain meski terasa sulit dan berat. Dengan keduanya, kita kan memperoleh manfaat luar biasa dalam mengatasi fluktuasi cinta. Ibnu Taimiyah berkata, “Hamba yang hidup hatinya, berakal serta peduli akan nasibnya di akhirat, tidak akan mendahulukan kecintaan kepada hal-hal yang membahaya-kan, mencelakakan dan membuatnya menderita.†Rejeki dari Allah Sungguh, hamba yang mendapatkan cinta Allah, adalah dia yang telah mendapatkan rejeki luar biasa dalam hidupnya. Sangat pantas disyukuri dan tidak boleh disia-siakan. Maka, celakalah mereka yang tidak pernah berfikir untuk mendapatkan cinta Allah! (trias) sumber : ar-risalah.or.id

Semua MUSLIM pastilah akan kita dapati akan mengatakan, “aku cinta kepada Allåh”; namun hendaknya ia menjawab tantangan Allåh berikut untuk membuktikan KLAIM-nya.

Allåh berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

(yang artinya) “Katakanlah (Wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam). niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali ‘Imraan 3:31)

Betapa indahnya ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullaah ketika menafsirkan ayat cinta ini [Raudhatul Muhibbiin: 251. Lih. Badaa-i’ut Tafsiir: 1/498]:

“Maka Allah menjadikan ittiba’ (mengikuti) Rasul sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah.
Keadaan seorang hamba yang dicintai Allah lebih tinggi dari keadaannya yang mencintai Allah.

Permasalahannya bukan pada (pengakuan) cintamu kepada Allah, akan tetapi (apakah) Allah mencintaimu.
Maka ketaatan kepada yang dicintai (Allah dan Rasul) adalah bukti cinta kepada-Nya, sebagaimana diungkapkan (dalam syair) Artinya:

“Engkau bermaksiat kepada ilahi, sedangkan engkau mendakwa cinta kepada-Nya”

“Ini dalam analogi adalah kemustahilan yang diada-adakan”

“Jika saja dakwaan cintamu jujur, niscaya engkau akan mentaati-Nya”

“Sesungguhnya seorang pecinta terhadap yang dicintai, akan taat”

Semua orang, entah ia jujur dalam ketaatannya atau seorang munafik yang bermuka dua, bisa berucap:

“Saya mencintaimu Yaa Allah”

Namun apakah Allah membalas cintanya?

Inilah yang menjadi inti permasalahan…

Maka bukti kejujuran seorang hamba dalam mencintai Allah adalah ittiba’-nya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam.

Tentu saja yang dimaksud ittiba’ di sini adalah dalam segala hal, baik yang dicontohkan untuk kita kerjakan ataupun yang beliau tinggalkan (tidak kerjakan) untuk kita tinggalkan pula

Imam Ibnu Katsir rahimahullaah menafsirkan:

“Ayat ini merupakan pemutus hukum bagi setiap mereka yang mengaku cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di atas jalan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam. (Jika demikian) maka sungguh ia seorang PENDUSTA dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at dan agama Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pada seluruh ucapan dan perbuatan beliau.

Sebagaimana riwayat hadits yang shahih (riwayat Muslim) dari

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, bahwasanya beliau bersabda:

منْ عمِل عملا ليس عليه اَمرنا فهو ردّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”
(HR. Muslim) [Tafsir Ibnu Katsir: 2/299, Cet. Daar Ibn Hazm 1419 H]

Inilah kenyataan yang merebak saat ini…
Sebagian kaum muslimin begitu mengidolakan tokoh-tokoh fiktif dalam novel dan film, hanya karena tokoh-tokoh khayal tersebut diskenariokan berhias dengan sebagian kecil dari keindahan ajaran Islam.

Sementara tokoh nyata yang mulia nan agung, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, yang merepresentasikan keindahan ajaran Islam secara kaaaffah (sempurna), seolah terkikis dan terlupakan oleh pamor artis dan biduan.
Inikah ayat-ayat (baca: tanda-tanda) cinta kepada Allah?!

Semestinya, jika pengakuaan cinta itu jujur, niscaya mereka berbondong-bondong menuju majelis ilmu, bukan justru mengantri di loket bioskop dan outlet novel “Islami”. Karena hanya di majelis ilmulah, dibacakan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasul-Nya. Menghadiri majelis ilmu, inilah tanda cinta yang hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sahl bin ‘Abdillah rahimahullaah pernah berucap:

“Tanda cinta kepada Allah adalah cinta pada al-Qur-an. Tanda cinta pada al-Qur-an adalah cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Dan tanda cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah cinta pada sunnahnya…” [lih. Tafsir al-Qurthubi: 4/63, Cet. Daarul Kitaab al-’Arabi]

Yahya bin Mu’adz rahimahullah mengatakan,
”Bukanlah orang yang jujur seorang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi tidak menjaga aturan dan larangan-larangan-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 95).

Bisakah seseorang dikatakan mencintai Allah, jika ia mengerjakan sesuatu yang tidak pernah disyari’atkan dan diperintahkan oleh Nabi-Nya dalam urusan agama ini?!



Semua MUSLIM pastilah akan kita dapati akan mengatakan, “aku cinta kepada Allåh”; namun hendaknya ia menjawab tantangan Allåh berikut untuk membuktikan KLAIM-nya.

Allåh berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

(yang artinya) “Katakanlah (Wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam). niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali ‘Imraan 3:31)

Betapa indahnya ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullaah ketika menafsirkan ayat cinta ini [Raudhatul Muhibbiin: 251. Lih. Badaa-i’ut Tafsiir: 1/498]:

“Maka Allah menjadikan ittiba’ (mengikuti) Rasul sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah.
Keadaan seorang hamba yang dicintai Allah lebih tinggi dari keadaannya yang mencintai Allah.

Permasalahannya bukan pada (pengakuan) cintamu kepada Allah, akan tetapi (apakah) Allah mencintaimu.
Maka ketaatan kepada yang dicintai (Allah dan Rasul) adalah bukti cinta kepada-Nya, sebagaimana diungkapkan (dalam syair) Artinya:

“Engkau bermaksiat kepada ilahi, sedangkan engkau mendakwa cinta kepada-Nya”

“Ini dalam analogi adalah kemustahilan yang diada-adakan”

“Jika saja dakwaan cintamu jujur, niscaya engkau akan mentaati-Nya”

“Sesungguhnya seorang pecinta terhadap yang dicintai, akan taat”

Semua orang, entah ia jujur dalam ketaatannya atau seorang munafik yang bermuka dua, bisa berucap:

“Saya mencintaimu Yaa Allah”

Namun apakah Allah membalas cintanya?

Inilah yang menjadi inti permasalahan…

Maka bukti kejujuran seorang hamba dalam mencintai Allah adalah ittiba’-nya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam.

Tentu saja yang dimaksud ittiba’ di sini adalah dalam segala hal, baik yang dicontohkan untuk kita kerjakan ataupun yang beliau tinggalkan (tidak kerjakan) untuk kita tinggalkan pula

Imam Ibnu Katsir rahimahullaah menafsirkan:

“Ayat ini merupakan pemutus hukum bagi setiap mereka yang mengaku cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di atas jalan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam. (Jika demikian) maka sungguh ia seorang PENDUSTA dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at dan agama Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pada seluruh ucapan dan perbuatan beliau.

Sebagaimana riwayat hadits yang shahih (riwayat Muslim) dari

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, bahwasanya beliau bersabda:

منْ عمِل عملا ليس عليه اَمرنا فهو ردّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”
(HR. Muslim) [Tafsir Ibnu Katsir: 2/299, Cet. Daar Ibn Hazm 1419 H]

Inilah kenyataan yang merebak saat ini…
Sebagian kaum muslimin begitu mengidolakan tokoh-tokoh fiktif dalam novel dan film, hanya karena tokoh-tokoh khayal tersebut diskenariokan berhias dengan sebagian kecil dari keindahan ajaran Islam.

Sementara tokoh nyata yang mulia nan agung, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, yang merepresentasikan keindahan ajaran Islam secara kaaaffah (sempurna), seolah terkikis dan terlupakan oleh pamor artis dan biduan.
Inikah ayat-ayat (baca: tanda-tanda) cinta kepada Allah?!

Semestinya, jika pengakuaan cinta itu jujur, niscaya mereka berbondong-bondong menuju majelis ilmu, bukan justru mengantri di loket bioskop dan outlet novel “Islami”. Karena hanya di majelis ilmulah, dibacakan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasul-Nya. Menghadiri majelis ilmu, inilah tanda cinta yang hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sahl bin ‘Abdillah rahimahullaah pernah berucap:

“Tanda cinta kepada Allah adalah cinta pada al-Qur-an. Tanda cinta pada al-Qur-an adalah cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Dan tanda cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah cinta pada sunnahnya…” [lih. Tafsir al-Qurthubi: 4/63, Cet. Daarul Kitaab al-’Arabi]

Yahya bin Mu’adz rahimahullah mengatakan,
”Bukanlah orang yang jujur seorang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi tidak menjaga aturan dan larangan-larangan-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 95).
Bisakah seseorang dikatakan mencintai Allah, jika ia mengerjakan sesuatu yang tidak pernah disyari’atkan dan diperintahkan oleh Nabi-Nya dalam urusan agama ini?!




       KETIKA AKU KEHILANGAN  CAHAYAMU



            Aku
  Aku.....
adalah bayang bayang
kuikuti setiap langkah asuhanku
aku adalah bayang- bayang
yang harus setia pada setiap langkah momonganku
Aku.....
adalah bayang-bayang....
dari diriku sendiri.......
aku harus menentukan langkahku sendiri
agar bayang-bayangku tak terpisahkan

Aku....
adalah bayang-bayang
yang.....ada karena cahaya......
bila sekelilingku gelap......
,maka.........bayang-bayangku lenyap

Aku adalah bayang-bayang....
yang ada karena Cahaya Mu
aku adalah bayang-bayang....
karena cahaya Mu lah aku ada....

Ya ...Robb ......
Berilah selalu aku cahaya Mu...
agar...bayang-bayangku tidak lenyap....
dan tetap setia pada setiap langkahku...

Ya Rob...
sepercik saja......,sepercik saja
cahaya Mu menerangi hidupku...
karna cahaya Mu - lah aku ada...

Untuk orang-orang yang kucintai,kusayangi
yang senantiasa jadi bayang-bayangku :
Ayah bunda....
ananda......
saudara-saudaraku....sesama Muslim,
seiman yang senantiasa mengingatkan aku
agar.....aku .....menjadi bayang-bayang ku
sendiri karena cahaya Mu... 

Jakarta, 31 juli 2010

Diposkan 30th November 2012 oleh Erna Garnasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar