Membangun Akidah Islam Yang Kokoh
Posted
27 Agustus 2009 by Revolusioner in Arimatea Blogg
Ya
Allah, Tetapkan dan kokohkan hatiku dalam memeluk Agama-Mu (Islam)
Islam adalah jalan hidup yang
sempurna. Islam merupakan pandangan hidup yang menentukan tingkah laku kaum
muslimin dalam kehidupan sehari-hari. Agar kaum muslimin menyadari betapa pentingnya
keterikatan dengan hukum syara’, cenderung hidup hanya untuk Islam, dan
berjuang demi menyebarluaskan Islam — sebagai satu risalah yang universal — ke
seluruh penjuru dunia; maka harus dibangkitkan pada diri mereka semangat
merealisasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan mengikatkan diri
pada hukum syara’.
Rasa
rindu untuk hidup di bawah naungan Islam sangat diperlukan. Demikian pula rasa
takut terhadap azab Allah yang akan menimpa mereka apabila tidak menerapkan
Islam dan tidak terikat dengan hukum-hukumnya.
Bangkitnya
semangat tersebut hanya dapat terwujud dengan membangkitkan aqidah Islam dan
menancapkannya kembali dalam diri kaum muslimin. Apalagi cahaya aqidah tersebut
telah meredup dari hati kaum muslimin. Bahkan tidak lagi berpengaruh dalam
kehidupan mereka, dan tidak mampu lagi menyalakan semangat untuk mengikat-kan
diri dengan hukum syara’.
Aqidah
kaum muslimin saat ini sesungguhnya benar-benar telah kehilangan gambaran
tentang hari kiamat. Hati mereka tidak lagi tergetar akan azab Allah atau
merasa takut terhadap api neraka jahanam. Mereka juga telah kehilangan rasa
rindu kepada surga, berikut keni’matan akhirat yang hakiki. Bagi mereka,
keni’matan-keni’-matan surga yang abadi itu — yang tak pernah dilihat oleh mata
manusia dan belum per-nah didengar oleh telinga — sudah tidak lagi menarik.
Akibatnya, kaum muslimin tidak lagi mencita-citakan keridlaan Allah SWT sebagai
nilai hidup yang tertinggi. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada dunia dengan
segala perhiasannya, terutama harta, kedudukan, kekuasaan, rasa cinta kepada
isteri-isteri dan anak-anak.Mereka telah men-jadikan kebutuhan materi sebagai
satu-satunya nilai hidup yang dikejar-kejar. Pan-dangan mereka tidak lagi
mengarah ke langit tetapi telah terfokus kepada dunia.
Kondisi
aqidah yang lemah ini telah menyebabkan berbagai bencana terus menerus menimpa
diri kaum muslimin saat ini, mulai dari lepasnya keterikatan terhadap
hukum-hukum Islam, ketidakberdayaan menghadapi hukum-hukum kufur yang berasal
dari Barat, termasuk dominasi negara adikuasa atas negeri-negeri mereka yang
telah memperalat penguasa mereka dan merampas harta kekayaan mereka; hingga
mereka menerima berbagai kehinaan dan kenistaan, hidup dalam suasana ketakutan
dan ke-pasrahan, serta sibuk mengejar kesenangan duniawi dengan melupakan Allah
SWT.
Oleh
karena itu untuk menyelesaikan seluruh problematika tersebut, mau tidak mau
aqidah kaum muslimin harus dibangkitkan, seraya dimantapkan dan dihidupkan
kembali.Manakala aqidah aqliyah pada diri mereka telah berfungsi kembali, maka
sungguh semangat mereka akan kembali bangkit. Kaum muslimin akan kembali kepada
Allah dan terikat pada syari’at-Nya. Mereka akan disiplin dalam melaksanakan
perintah-perintahNya dan menjauhi apa yang dilarangNya.
Kaum
muslimin akan melepaskan semua undang-undang thaghut (kufur) dan bahkan
menumpas kepemimpinan penguasa mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya tanpa
takut lagi akan rizki atau nyawanya sekalipun. Sebab mereka (kaum mus-limin)
telah beriman bahwa rizki dan hidup berada di tangan Allah SWT semata, bukan
berada di tangan makhluknya. Kerinduan mereka terhadap syurga dan segala
keni\’ma-tan yang ada di dalamnya akhirnya akan mampu mengalahkan kecintaan
mereka terhadap kesenangan duniawi. Ketakutan mereka terhadap azab jahanam juga
akan mengatasi rasa takut mereka terhadap para penguasa kufur dengan segala
ancaman serta kekejamannya.
Dari
sini jelaslah bahwa lemahnya keterikatan terhadap hukum syara’ dalam hubungan
individu dan masyrakat merupakan akibat dari lemahnya semangat aqidah akliyah
yang ada pada diri kaum muslimin. Sebab, keterikatan terhadap hukum syara’
merupakan buah dari iman. Jadi, apabila semangat iman ini makin kuat maka
semangat keterikatan itu akan semakin kuat pula. Sebaliknya, apabila semangat
iman itu makin lemah maka keterikatannya pun akan menurun.
Demikian
pula harus dipahami bahwasanya meskipun tugas yang paling penting yang
dibebankan pada pundak pengemban da’wah –yang berjuang untuk mengembali-kan
pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT– adalah mencurahkan tenaganya untuk
menjelaskan betapa pentingnya nilai keterikatan terhadap hukum-hukum syariat
yang berhubungan dengan nilai-nilai dasar bagi kehidupan, juga berusaha
mewujudkan kesadaran umum pada diri kaum muslimin terhadap nilai-nilai dasar
kehidupan menyangkut hubungan antar individu masyarakat, antara mereka dengan
negara atau antara mereka dengan negara dan bangsa lain; namun sesungguhnya hal
yang paling penting lagi ialah bahwa mereka harus memahami bagaimana cara
menjelaskan pentingnya keterikatan terhadap hukum-hukum syari’at dan
upaya-upaya yang dapat mewujudkan kesadaran umum di tengah-tengah umat terhadap
pentingnya keterikatan dengan hukum-hukum syara’ tersebut.
Semua
ini tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan menanamkan aqidah aqliyah,
memberikan gambaran detailnya, serta menancapkan ide-ide yang tercantum dalam
Al Qur’an dalam jiwa kaum muslimin. Karena sesungguhnya yang mendorong
melaksana-kan syari’at dan terikat dengan hukum-hukumnya adalah hasil dari
gambaran detail aqidah tersebut serta sejauh mana tertanamnya dalam jiwa umat.
Dengan demikian kaum muslimin akan takut terhadap ancaman azab neraka manakala
mereka menyim-pang dari syari’at Islam. Mereka akan mengharap surga yang penuh
ni’mat pada saat mengikuti syari’at dan terikat dengan hukum-hukumnya. Pada
saat itulah akan nampak keterikatan terhadap hukum-hukum syari’at dalam
perilaku individu maupun dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Oleh
karena itu, bukan tanpa disengaja apabila Al Qur’an selama tiga belas tahun di
Makkah selalu memfokuskan aqidah dan menanamkan ide-idenya, sehingga
masya-rakat sudah terbiasa mendengar ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di
siang maupun malam hari, senantiasa membicarakan masalah aqidah dan ide-idenya.
Pada periode Madinah, meskipun perhatian Al Qur’an terfokus pada penerapan
hukum-hukum syariat, namun ayat-ayat yang diturunkan selalu mengingatkan kaum
muslimin terhadap aqidah dan mengkaitkan hukum-hukum yang diturunkan tersebut
dengan iman. Hal ini disebabkan karena aqidah memiliki kedudukan paling tinggi
dalam mewujudkan semangat dalam diri orang-orang yang beriman untuk
melaksanakan perintah dan me-nerapkan hukumnya. Oleh karena itu, agar kita
dapat membuahkan hasil dalam mem-bangkitkan dan menggerakkan umat, juga agar
kita apat menghidupkan kembali seman-gat ddan kerinduan umat terhadap
pelaksanaan hukum-hukum Islam, di bawah naungan sistem khilafah Islam, maka mau
tidak mau harus meneladani cara yang ditempuh Al Qur’an Al-Karim dalam hal ini.
Berikut
ini ditunjukkan beberapa ayyat sebagai contoh tentang cara Al Qur’an yang
berkaitan dengan hal ini:
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisaa: 65).
“Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang
diberi Al-kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir
sesudah beriman.” (Ali Imran: 100)
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama-mu dengan
jalan yang batil” (An Nisa: 29)
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya.”
(Al Mujadilah: 22)
Ayat-ayat
seperti ini, dan ratusan yang lainnya serta ratusan hadits yang mulia, ketika
menjelaskan sesuatu ide, hukum, pemecahan, perintah atau larangan sesung-guhnya
selalu dikaitkan dengan aqidah dan semangat iman, serta memberi dorongan untuk
melaksanakan dan mengingatkan terhadap apa yang diinginkan oleh ayat.
Demikianlah
jalan yang digunakan oleh Al Qur’an ketika menjadikan masyarakat menerima
aqidah, memiliki sikap komitmen dan mengikatkan diri pada hukum-hukumnya. Jadi,
pengaruh rasa takut terhadap Allah SWT, takut terhadap azab kubur dan
kedahsyatan hari kiamat, pedihnya siksa neraka jahanam; lalu kerinduan akan
surga berikut keni\’matannya yang kekal di dalamnya dari hal-hal yang
diinginkan oleh setiap jiwa, termasuk hal-hal yang indah dilihat mata, istana-istana
yang sangat indah berikut bidadari yang cantik-cantik dan gadis-gadis yang
segar-segar; semua ini menjadikan manusia mengalihkan pandangannya ke langit
dari yang semula sibuk mencari kesenangan duniawi. Semua ini dapat memalingkan
mereka kepada hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan
kepada surganya serta menjauhkan dirinya dari azab neraka.
Dari
sinilah kaum muslimin bertolak untuk mengikatkan diri kepada hukum-hukum Allah,
bertarung melawan ide-ide kufur yang sudah merajalela berikut para penguasa
thaghut yang bertindak sebagai musuh-musuh Islam. Kaum muslimin akan siap
melakukan perjuangan politik melawan setiap pemerintahan thaghut dan mau
berjuang secara sungguh-sungguh untuk menumpas sistem pemerintahan kufur dan
melepaskan diri dari dominasi mereka serta mengembalikan pelaksanaan
hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.
Oleh
karena itu, adalah suatu keharusan untuk menghidupkan kembali aqidah Islam pada
jiwa kaum muslimin, agar dapat mendorong komitmen mereka dan terikat dengan
hukum-hukum syari’at serta bersegera merubah keadaan mereka, melenyapkan
kekuatan negara-negara kafir berikut perundang-undangan dan sistemnya.
Untuk
membangkitkan semangat aqidah dibutuhkan penjelasan tentang mafhum / persepsi
atau ajaran pokok dalam aqidah Islam, kemudian menanamkannya ke dalam jiwa
individu kaum muslimin. Ajaran mendasar ini merupakan suatu ajaran yang
terpen-ting dan paling berpengaruh dibandingkan dengan yang lainnya. Karena
kepentingan inilah para Nabi dan para Rasul diutus. Termasuk dalam pokok ajaran
tersebut; dijanjikannya kehidupan yang abadi di akhirat di surga maupun di
neraka, penciptaan jin dan manusia untuk suatu tujuan tertentu, pembalasan amal
perbuatan manusia dan azab/siksaan, serta adanya kewajiban mengemban da\’wah/risalah
Islam dll. Mafhum/ persepsi yang dimaksud di sini ialah mafhum ‘ubudiyyah
(penghambaan diri kepada Allah SWT) yang lahir dari mafhum uluhiyyah
(ketuhanan). Allah SWT berfirman:
“(Dan)
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepadaKu ” (Adz Dzariyaat: 56)
Jadi,
yang dimaksud dalam kalimat syahadat pertama, laa ilaaha illallah (tidak ada
Tuhan selain Allah), adalah tidak ada yang patut disembah kecuali Allah sebab
lafadz ilaah menurut pengertian bahasa dan syara\’ adalah: yang patut disembah.
Jadi kalimat laa ilaaha baik menurut ketentuan bahasa ataupun syara\’ artinya
adalah la ma\’buuda (tidak ada yang patut isembah). Dan tatkala seorang muslim
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, sesungguhnya
dia telah mengesakan Allah dalam penghambaan maupun dalam pensucian, serta
menafikan secara pasti penghambaan terhadap selain Allah. Oleh karena itu
persaksian seorang muslim meng-haruskan ia untuk hanya beribadah kepada Allah
saja, juga mengharuskan ia memba-tasi ibadahnya hanya kepada Allah semata,
tidak kepada yang lain.
Apabila
seorang muslim telah memahami persepsi ini, maka akan menjadikannya sangat
berhati-hati dalam segala hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan
kehi-dupannya, maupun yang menyangkut problematikanya; sehingga ia akan menolak
untuk mentaati selain Allah, karena ia tidak beribadah kepada selain Allah;
juga karena setiap sesuatu yang dituntut untuk ditaatinya selain Allah atau
mengajak orang-orang mengikuti selain petunjuk yang berasal dari Allah; atau
menjalankan hukum selain dari apa yang diturunkan Allah, semuanya termasuk
dalam kategori thaghut yang harus ditentang dan diingkari, bahkan diperang
sampai lenyap dari permukaan bumi ini sehingga yang ada hanya syari’at Allah
semata.
Oleh
karena itu yang menunjukkan adanya ‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah
itu adalah terikat secara sungguh-sungguh dengan hukum-hukum Allah,
mengesakanNya dalam tasyri’ (pembuatan hukum) juga dalam ketaatan, ketundukan
dan pasrah terhadap segala yang diperintahkanNya atau yang dilarangNya. Sebab
keterikatan kepada hukum-hukum syara’ adalah hasil yang pasti dari keimanan
dilihat dari segi mafhum ketuhanan, yang juga merupakan buah/hasil dari penghambaan
diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasakan keberatan dalam hati mereka terhada putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaâ: 65).
Melalaikan
keterikatan terhadap hukum-hukum syara’ adalah giliran yang pasti setelah
melalaikan mafhum ketuhanan, sebagai akibat dari melupakannya, jarang
dipikirkan atau karena pemahamannya telah berubah.
Oleh
karena itu, segala sesuatu yang dilaksanakan dari selain syari’at/perintah
Allah, sesungguhnya merupakan ketundukan dan penyerahan diri untuk mau diatur
dengan hukum-hukum thaghut, yang kaum muslimin diperintahkan untuk
mengingkari-nya. Jadi siapa saja yang ingin membuat hukum, apapun kedudukannnya
— apakah dia sebagai penguasa maupun aparatnya — sesungguhnya ia merupakan
thaghut yang ingin menjadikan dirinya sebagai Tuhan selain Allah. Allah SWT
berfirman:
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan
mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisaa: 60)
“Mereka
(Bani Israil) telah menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah.” (At Taubah: 31)
Rasulullah
telah menjelaskan arti ayat ini sebagai mana tercantum dalam haditsnya
“Sesungguhnya mereka telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan
menghalalkan apa yang diharamkannya lalu kaumnya mengikuti mereka, maka itulah
bentuk ibadah mereka kepada para pendeta dan rahib itu.” (HR. Tirmidzi no.
3095)
Sesungguhnya
pengaruh mafhum ketuhanan pada diri kaum muslimin akan dapat mengembalikan
posisi dan semangat aqidah Islam sebagai aqidah ruhiyyah (ritual) dan aqidah
siyasiyyah (political). Jadi, bukan sekedar aqidah ruhiyah semata, karena pada
hakekatnya aqidah ini mampu memancarkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum
Islam yang sangat dibutuhkan manusia dalam mengatur kehidupannya, baik di dunia
maupun di akhirat, serta mendorong kaum muslimin untuk terikat dengan
hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi
larangan-larangan-Nya, dan melenyapkan setiap undang-undang dan penguasa
thaghut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar