بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ

kamu mengikuti langkah setan, sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.
Ulumul Hadist
Hadits adalah perkataan, pernyataan, pengamalan, dan muamalah
sehari-hari Nabi Muhammad SAW, yang
disampaikan. kepada para sahabat di jamannya, dan taqrir adalah
hal ihwal sikap/perkataan
nabi Muhammad SAW. ketika masyarakat mencari jawaban atas masalah yang mereka hadapi saat itu.
Apa yang disampaikan nabi Muhammad kepada
sahabat-sahabatnya, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al-Quran.
Pada masa Nabi, sesungguhnya sudah
ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadits Nabi, tetapi jumlah mereka selain
tidak banyak, juga materi hadits yang mereka catat masih terbatas. Namun,
setelah rasulullah wafat, kebutuhan akan pentingnya hadits meningkat. Sehingga
hadits mengalami oroses transmisi atau penyebaran. Untuk itu kita perlu tahu
akan penyebaran hadits tersebut.
Cara nabi menyampaikan Hadist
1. Cara rasulullah menyampaikan haditsnya pada dasarnya dengan cara natural
saja. Ada masalah, langsung beliau yang memberikan penyelesaian.
2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu
malam dan subuh.
3. Dalam bentuk tulisan.
Periwayatan pada zaman nabi
Hadits yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat.
Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadits nabi
kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian
menemui nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan
disampaikan oleh sahabat lainnya kepadanya.
Proses transmisi hadits pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini
terjadi karena 2 hal yaitu:
a. Cara penyampaian hadits oleh rasulullah secara langsung.
b. Minat yang besar dari para sahabat.
Periwayatan Hadits Pada Zaman Sahabat Nabi
a. Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq
Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan
kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits. Beliau sangat berhati-hati dengan
periwayatan hadist. Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi
kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk Quran dan
praktek nabi yang memberikan harta warisaan kepada nenek. Lalu ia bertanya
kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu
Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam
bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat
tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad
bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan
nenek dengan memberikan seperenam bagian.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati
dalam periwayatan hadits, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadits yang
diriwayatkannya relatif tidak
banyak. Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat islam
pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini karena pada pemetintahan Abu Bakar tersebut, umat islam dihadapkan
ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan Negara. Al- Suyuthiy
telah menghimpun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dari berbagai
mukharrij, sebanyak 695 hadits.
b. Pada Zaman Umar bin Khattab
Pada masa Umar penyebaran hadits kurang berjalan. Karena pada masa umar
lebih memfokuskan pada membaca dan mendalami Quran. Akan tetapi lebih banyak
dari masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar
sangat tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena umar ingin ummat lebih
konsentrasi dengan Quran dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits.
c. Pada Masa Utsman bin Affan
Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah
sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin
Khattab. Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang
tak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Penyebaran hadits pada masa
Utsman lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah
islam meluas dan perawi jumlahnya bertambah dan meluas.
d. Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para
pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum ali bersedia menerima
riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits mengucapkan sumpah, bahwa hadits
itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar
dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah.
Transmisi
hadits pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan
tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi
dampak negatif dalam penyebaran hadits. Kepentingan politik telah mendorong
pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Pemalsuan terjadi karena
kepentingan politik antara Ali dan Muawwiyah. Dengan demikian, tidak seluruh
periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
2. Periwayatan Hadits Pada Zaman
Sesudah Generasi Sahabat
Pada zaman sesudah generasi sahabat
Nabi, khususnya pada saat hadits Nabi dihimpunkan dalam kitab-kitab hadits,
telah telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat hadits Nabi.
Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya
upaya ulama dari hadits-hadits palsu.
Pada masa ini konsentrasi kepada hadist sangat meningkat. Yang mereka kaji
bukan hanya matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadits Nabi pada
zaman ini tidak memperoleh hadits secara langsung dari Nabi, karena mereka
memang tidak sezaman dengan Nabi.
Periwayatan hadits pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas,
rangkaian periwayat hadits yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang
dibandingkan pada zaman sahabat Nabi.
3.Jalan
Menerima Hadits (thuruq at-tahammul) dan Penyampaiannya.
Yang dimaksud dengan "jalan menerima hadits" (thuruq at-
tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.
Dan yang dimaksud dengan
"bentuk penyampaian" (sighatul- ada') adalah lafaz-lafaz yang
digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada
muridnya, misalnya dengan kata : sami'tu "Aku telah mendengar";
haddatsani "telah bercerita kepadaku"; dan yang semisal dengannya.
Dalam menerim hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh.
Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus
Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits
yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz
atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh.
Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang
benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami
pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz
dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima hadits ada delapan, yaitu as-sama' atau mendengar
lafadh syaikh; al- qira'ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah,
al-kitabah, al-I'lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing
penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing :
1. As-Sama' atau mendengar
lafadh syaikh (guru).
Metode ini bisa berbentuk pendekatan (imlâ’) Hadis atau yang lainnya, bisa
dari hafalan dan bisa juga dari tulisan seorang guru Hadis. Menurut jumhur ahli
Hadis, ini merupakan metode yang paling tinggi.
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru
membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis
apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur
ulama, as-sama' ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan
hadits.
Lafaz-lafaz penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar
dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar
dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar
dari sang syaikh bersama yang lain.
2. Al-Qira'ah atau membaca kepada syaikh.
Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl. Bentuknya : Seorang perawi membaca
hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti,
baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan,
dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca
dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain
yang tsiqah.
Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh;
apakah dia setingkat dengan as-sama', atau lebih rendah darinya? Yang benar
adalah lebih rendah dari as-sama'.
Ketika menyampaikan hadits atau
riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafaz-lafaz : aku telah membaca
kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan
ia menyetujuinya.
Lafadh as-sama' berikutnya adalah
yang terikat dengan lafadh qira'ah seperti : haddatsana qira'atan 'alaih - (ia
menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafaz
akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
3. Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau
riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku izinkan kepadamu untuk
meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu.
Misalnya dia berkata,"Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari". Di antara
jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa
yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,"Aku ijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan semua riwayatku".
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga
tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,"Aku ijazahkan
semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku".
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul.
Seperti dia mengatakan,"Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-
Dimasyqi"; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama
seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan
mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,"Aku ijazahkan
riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya". Bentuk pertama (a) dari
beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan
ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar.
Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para
ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna.
Lafaz-lafaz yang dipakai dalam
menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah أَجَازَ لِيْ
فُلاَنٌ (beliau telah memberikan ijazah kepada si
fulan), حَدَّثَنَا إِجَازَةً, أَخْبَرَنَا
إِجَازَةً, dan أَنْبَأَنَا
إِجَازَةً (beliau telah memberitahukan kepada kami
secara ijazah).
4. Al-Munaawalah atau
menyerahkan .
Pada metode ini terdapat dua macam cara, yaitu :
a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi
di antara macam- macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,"Ini
riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku". Kemudian buku
tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin.
Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih
rendah daripada as-sama' dan al-qira'ah.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : "Ini
adalah riwayatku". Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan
pendapat yang shahih.
Lafadh-lafadh yang dipakai dalam
menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini
adalah jika si perawi berkata : نَاوَلَنِيْ
وَأَعْجَزَنِيْ, atau حَدَّثَنَا
مُنَاوَلَةً وَإِجَازَةً, atau أَخْبَرَنَا
مُنَاوَلَةً.
5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis
riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,"Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama
kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai
dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan
dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian
tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui
bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I'lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu
seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si
fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara
al-I'lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika
menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : أَعْلَمَنِيْ شَيْخِيْ (guruku telah memberitahu
kepadaku).
7 . Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan
di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan
kepada sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut
sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan
wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin - أَوْصَى إِلَى فُلاَنٍ بِكِتَابٍ (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah
kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حَدَّثَنِيْ فُلاَنٍ وَصِيَّةً (si fulan telah bercerita kepadaku dengan
sebuah wasiat).
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat
hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu,
sedang hadits- haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si
perawi. Wijadah ini termasuk hadits
munqathi', karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati
dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,"وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلاّنٍ"
(aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau "قَرَأْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ"
(aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan
sanad dan matannya.
Contoh cara penulisan Hadist
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Allah Ta'ala berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
"Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR. al-Bukhari dan Muslim)Wabilahi tafik wal hidayah, wassalamualaikum Wrwb. ( semoga bermanfaat }
Tidak ada komentar:
Posting Komentar